Adalah cita-cita saya dari kecil, sejak mulai ngefans dengan Backstreet Boys dan Boyzone, dan tau kalau di dunia tidak hanya ada Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu (ibu saya asli Melayu Pontianak), that one day, I’ll be living among those people who speaks different language than me.
Bahasa Inggris adalah mata pelajaran favorit saya, selain Matematika (ga nyombong tapi bener kok :-P). Beruntunglah saya ketika kecil, Ayah saya ditugaskan di pedalaman Kalimantan Timur. Biarpun namanya pedalaman, tapi karena dimiliki oleh perusahaan Swasta yang bergerak di bidang pertambangan batu bara, sekolah saya termasuk sekolah dengan kualitas sangat baik, baik kualitas guru maupun kualitas pelajarannya. Sesekali kami berkunjung atau dikunjungi, ataupun melakukan kegiatan cross-culture dengan sekolah internasional yang isinya anak-anak bule. Waw, sekali lagi saya dikejutkan dengan fakta bahwa orang-orang yang kayak Backstreet Boys dan Boyzone itu benar-benar ada. Lebay, isn’t it? π
Lingkungan dan teman-teman yang mendukung, dan hobi saya untuk mendengarkan lagu-lagu barat (yang tentunya diturunkan oleh orang tua saya juga) membuat saya tidak kesulitan untuk belajar bahasa inggris pada saat itu. Guru-guru kami pun menekankan untuk memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sehingga tidak ada frasa “takut salah” ketika berbicara dengan teman-teman asing kami. Keluar dari Kalimantan Timur, hingga akhirnya saya kuliah di Yogyakarta, memperkenalkan saya dengan Bahasa Jepang. Saya kuliah di Teknik Elektro, tapi teman-teman sepergaulan saya hobinya nonton Anime dan mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jepang, yang tentunya menular menjadi hobi saya juga (plus memang waktu itu gebetan saya juga doyannya jepang-jepangan gini sih.. ketauan deh!). Saya dan teman-teman terdekat waktu itu sempat mengikuti 2 level kursus Bahasa Jepang dasar, yang membuat kami bisa lah sedikit-sedikit ngobrol pake Bahasa Jepang. But it was like 5 years ago, sekarang kalo disuruh ngomong bahasa Jepang, saya bisanya hajimemashita dan arigatou gozhaimasu aja π
Ketika beberapa teman saya ikut program D1 Bahasa Inggris, saya mulai deh jiwa pengen ikut-ikutannya keluar, mendaftar juga di program yang sama, mengingat: “Hey, this is my favorit language after Bahasa, it would be easy for me!” Well, pada akhirnya programnya yang harusnya setahun itu, hanya bisa saya pertahankan selama 3-4 bulan, karena BOSAN. Oh well, typical me. At that moment I realize, literatur dan sastra memang bukan bidang saya. π
Tapi masih aja dong, pengen bisa berbahasa lain selain Bahasa Indonesia! Setelah jepang-jepang, datanglah masanya film-film Korea, mulai deh saya mengumpulkan buku-buku belajar bahasa Korea, yang sampai sekarang juga belum bisa. Ketika masa-masa menganggur saya di Pontianak, berdua dengan temen deket saya sejak SMA yang sama-sama nganggur juga, kami mendaftar untuk ikut les bahasa Mandarin, yang hanya bisa dipertahankan sebulan karena ternyata itu bahasa dan tentu saja hurufnya, sulit sekali, saudara-saudara!
Ketika sudah mulai bekerja, saya masih berniat untuk melanjutkan studi saya ke luar negeri. I want to speak different language in my daily life! Dan semangat kembali berkoar-koar ketika saya memenangkan kompetisi berbahasa Inggris di induk perusahaan kantor saya sebelum ini. Pada akhirnya, saya memutuskan akan berkuliah di Jerman, ketika saya tidak lagi mengharapkan beasiswa yang tak kunjung datang dan biaya hidup untuk bersekolah di Jerman yang menurut saya masih reasonable untuk hidup tanpa beasiswa. Maka Bahasa Jerman menjadi tujuan saya belajar berikutnya, meskipun saya tetap mencari program kuliah berbahasa inggris.
Takdir menentukan lain, saya malah diterima di program Erasmus Mundus (meskipun tanpa beasiswa) yang mengharuskan saya bersekolah di dua negara. Swedia dan Jerman. Oke, bahasa Jerman saya sudah mulai mempelajarinya. Tapi Bahasa Swedia, alamak, baru belajar pronounciation huruf vokalnya aja bikin saya keder. Kalau orang bilang, toh saya berkuliah nanti menggunakan bahasa Inggris, kenapa harus belajar bahasa negaranya? Well, buat saya, belajar bahasa suatu negara itu, connects me to other people around, dan tentunya memudahkan kehidupan sehari-hari secara sosial. Kuliah memang berbahasa Inggris, tapi saya tinggal di negara yang bahasa Ibu-nya bukan bahasa Inggris, apa salahnya bisa bahasa mereka, hidup akan jadi lebih nyaman kayaknya ya. Mengingatkan saya ketika jalan-jalan ke Thailand, dan dapat supir tuk-tuk yang ga bisa bahasa Inggris. Coba kalau dia bisa bahasa Inggris atau kalau saya bisa bahasa Thailand, ga ada lah itu namanya bete-betean sepanjang jalan karena ga nyambung π
Akhir-akhir ini saya banyak membaca blog teman-teman yang tinggal di Eropa dan berbincang2 juga dengan teman-teman yang pernah tinggal disana, most of it bilang, at one moment akan ada masanya kita bakal kangeeeen sekali ngobrol pakai bahasa ibu ngalor ngidul sepanjang tahun, jadi (kesannya) berkata : “jangan bangga dan excited banget mo ke luar negeri, belum tau lo susahnya hidup di situ.” Well, I won’t deny that those things would definitely happen to me too. But at least I do something to pursuing my dream π
Ah, jadi ingat, Β 7 taun saya tinggal di Yogyakarta, saya ga bisa bahasa Jawa, karena teman-teman main saya ya rata-rata dari luar Jawa, semoga ntar di Eropa sana tidak mengulang kesalahan yang sama πΒ Walaupun mungkin ntar saya ga bisa ahli banget berbahasa Swedia atau Jerman, paling gak bisa casciscus berbahasa Inggris lah ya, seperti cita-cita saya dari kecil π
Kalo kamu? Ada ga bahasa yang pengen dipelajari? Boleh loh di share *nanya kayak ini blog banyak yang baca* π